Selamat Datang ...

Cerita Gopek menyuguhkan fiksi mini (flash fiction) karya Mardiana Kappara yang mengandung tidak lebih dari 500 kata pada tiap cerita.


Senin, 28 Februari 2011

Cinta Anak


Mamak...
Adalah rangkaian huruf yang selalu tergetar apabila terucap di bibir. Kata paling indah yang terlahir ketika dilontarkan lidah menurut Khalil Gibran. Atau ruh tempat bersemayamnya surga di telapak kaki menurut kata pepatah orang bijak.

Mamak. Mungkin sebenarnya wanita yang tidak sepenuhnya dekat denganku. Mungkin tidak semua waktu dan cerita kubagi dengan beliau. Masa kecilku pun tidak tersentuh oleh mamak. Tetapi lebih oleh seorang pengasuh, wanita paruh baya yang kusebut Mak Eyah, yang setelah dewasa seolah terlupakan denganku. Mamak telah mengajarkan aku banyak hal dalam diam dan jarak, lalu terekam dengan baik hingga aku dewasa.

Apakah aku adalah bagian penting bagi beliau, atau beliau adalah bagian penting bagiku saat ini masih berupa tawar-menawar.  Seperti ada tombol pengaturan di antara kami, satu ketika aku menjalankan posisi sebagai seorang anak yang setia dan santun namun beberapa saat kemudian bisa bergeser sebagai seorang pemberontak hebat.

Aku mencintai mamak karena cinta seorang anak terhadap ibunda yang telah diciptakan Tuhan sebelum aku lahir. Kemudian rasa tersebut dibenamkan dalam-dalam di batok kepalaku. Mungkin sekedar itu cintaku pada beliau. Sebuah kewajiban dari seorang anak. Mungkin sebenarnya aku tidak cukup pantas dipanggil seorang anak. Karena sehabis menangis penuh sesal telah bentrokan dengan beliau, beberapa detik kemudian aku telah dapat kembali tertawa dengan riang.


Ditulis di Wirobrajan, Yogyakarta, 2002.

Rabu, 23 Februari 2011

2004


Negaraku diadakan PEMILU, Pemilihan umum pertama oleh rakyat dengan memilih sendiri wakilnya. Sebuah prestasi yang luar biasa, karena sebelumnya, kami terbiasa dipilihkan. 24 partai yang ditawarkan. Menu yang benar-benar variatif dan menggiurkan.

Tapi, sebagai orang awam dan orang Indonesia asli, kami terbiasa dengan menu sederhana dan kampungan. Cukup nasi dengan terasi, nasi dengan ikan teri, atau tiwul dengan sekerat tempe. Kami tidak tahu fried rice, sushi, sashimi, atau lobster. Kami yang tidak punya televisi, kami yang tidak punya koran, yang kami tahu koran adalah bungkus cabe kriting, bawang merah dan cabe rawit — kami yang harus ikut memilih wakil-wakil yang kami sendiri tidak tahu wakil mana yang akan mewakili kami.

Apakah semangat mengebu-gebu kami menyambut perubahan hanya sebatas mengantri masuk bilik suara? Apakah demikian gambaran demokrasi baru bangsa ini?

Kami adalah pribumi kebanyakan, orang awam, yang hanya peduli bagaimana harga beras, minyak tanah dan minyak sayur tidak melambung. Kami tidak peduli siapa Anda yang terpilih. Kami hanya orang garda belakang, dengan pendidikan kami yang minim dan kemiskinan yang mengencangkan ikat pinggang kami, semangat nasionalisme kami mengukuhkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar tidaklah pernah padam.

Maka, tolong hargai usaha tulus kami dengan memberikan ketulusan. Bukan kami yang menentukan nasib bangsa ini. Bukan kami jua yang mengokohkan kebesaran bangsa ini. Apalagi mampu memajukan negeri ini. Kami telah gadaikan seluruh kepercayaan kami padamu, kami telah gantungkan cinta dan cita-cita kami dipundakmu. Maka, engkaulah yang kami harapkan mampu mengobarkan semangat itu dan menjadikan tidak lagi sekedar impian buat kami.

Bukan kami yang menjadikan bangsa ini terhormat, tapi Anda lah semua, wahai SANG CALEG!!!


Ditulis di Kota Jambi, 28 Januari 2004
Telah dipublikasikan di http://mardianakappara.blog.friendster.com/ 28 Maret 2008



Sabtu, 05 Februari 2011

KEGAGALAN


Aku bertanya pada AMARAH, “Mengapa kau begitu pemarah?”
Lalu Amarah murka sambil menuding KESABARAN.
“Karena dia memiliki semua nilai sabar. Dan aku tidak pernah dibagi!”
Kemudia KESABARAN tersenyum menepuk bahu KESEDIHAN.
“Aku hanya berusaha menutupi semua rasa sedih. Bukan karena aku tidak ingin berbagi.”
Mendengar ucapan KESABARAN, KESEDIHAN semakin merasa sedih dan bersalah.
Sambil menangis dia memeluk KEGAGALAN, “karena kau selalu datang padaku, dan tidak pada yang lain.”
KEGAGALAN pun menunduk sangat dalam, “karena hanya kau yang mau menerimaku...”


Ditulis di Kota Jambi, 7 Februari 2004