Mak Menah yang tinggal di Desa Lambur Dalam sudah berumur lebih dari 50 tahun. Anak satu-satunya masih berusia 7 tahun. Karunia Allah di usianya yang menginjak kepala 4, dia baru dikaruniai anak setelah menikah bertahun-tahun. Ditinggal suami pertama dan nyaris suami kedua.
"Boy sudah masuk SD, aku ditegur ibu gurunya, Boy belum bisa baca tulis. Kalau mau naik kelas Boy harus bisa baca tulis. Di sekolah katanya ibu guru memberikan les tambahan. Tapi di rumah Boy juga harus belajar baca tulis." Mak Menah mendatangi warungku pagi itu dengan tergopoh-gopoh. Aku sarjana Pertanian dari kota yang baru diwisuda dua bulan lalu. Kembali ke desa, aku berwirausaha. Walaupun bapak ibu menginginkan aku jadi pegawai negeri. Tetapi aku ingin menjadi petani saja, bukankah aku disekolahkan di jurusan pertanian, tentunya aku harus jadi petani, bukan pegawai negeri, tapi Bapak Ibu sibuk menyuruhku ikut tes CPNS.
"Sini biar aku yang mengajar Boy. Kalau pulang sekolah, suruh Boy main ke warung."
"Tapi Boy malu katanya. Katanya lagi, biar Mak saja yang belajar sama Bang Rohim, nanti ajarkan aku setelah Bang Rohim bisa mengajarkan Mak baca tulis."
Aku melongo. Pikirku kurang ajar betul Boy bersikap begitu pada Mak Menah. Tapi Mak Menah sekali lagi meyakinkanku.
"Ajarkan saja Mak, Him. Biar emak bisa mengajarkan Boy. Kasihan pula dia kalo pulang sekolah harus belajar lagi kemari. Biarlah siang dia bermain bersama teman-temannya, nanti malam biar emak yang mengajarkan dia sehabis emak belajar denganmu Him. Lagipula emak juga tidak punya banyak kerja, biarlah emak membantu warung jualan pupukmu, tak perlu engkau bayar emak ni, cukup kau ajarkan emak baca tulis sampai pintar."
Ya, pikirku tidak ada salahnya. Toh, tawaran yang saling menguntungkan. Aku juga butuh pegawai, syukur-syukur pegawai yang gratisan. Kadang aku perlu ke kota untuk membeli pupuk atau racun tanaman.
"Baiklah, Mak."
"Kapan bisa emak mulai belajar?"
"Besok."
"Kenapa tidak hari ini saja?"
Aku mengangguk ragu-ragu, "I-Iya, bisa.."
Mak Menah langsung menarik salah satu bangku di depanku. mengeluarkan sebuah buku yang digulung-gulungnya dan diselipkannya dibalik baju, tidak lupa sebatang pensil dan sebuah penghapus. Mak Menah tersenyum sangat lebar padaku.
Aku pun ikut tersenyum. Mulailah hari itu aku mengajarkan Mak Menah baca tulis.
Sudah tiga hari berturut-turut Mak Menah rutin datang ke warung. Biasanya sendiri, tetapi kali ini tidak. Dia bersama dengan Mak Timah.
"Maaf, Him. Kemarin emak cerita sama Timah, kalau engkau mengajarkan aku baca tulis. Walaupun aku baru tahu A, B, sampai C. Tapi rasanya aku bangga betul menyadarinya. Mendengar itu Timah bertanya, mungkinkah engkau menambah pegawai dengan upah diajarkan baca tulis, Him?"
Aku hanya mengangguk. Semenjak hari itu, aku punya dua pegawai sukarela.
Seminggu berjalan, Mak Menah dan Mak Timah membawa tiga orang perempuan paruh baya lain. Aku kenal mereka, Mak Sargawi, Mak Ucup, dan Mak Ogik. Dengan malu-malu mereka mendaftarkan diri menjadi pegawai di warungku dengan upah diajarkan baca tulis selayaknya Mak Menah dan Mak Timah. Aku tidak bisa menolak, karena pikirku tidak ada ruginya untukku. Bahkan sekarang aku bisa sedikit santai, karena banyak tenaga yang membantuku di warung.
Lama kelamaan, warungku makin ramai didatangi perempuan paruh baya yang mau belajar baca tulis. Sehingga kelas baca tulis pun berpindah ke halaman warung.
Tanpa sengaja Pak Kades melewati warung pertanianku, dia mampir dan menyapaku. "Wah, sekarang buka privat baca tulis juga Nak Rohim?"
Aku tertawa. "Tidak Pak Kades. Ini kelas gratis. Siapapun boleh belajar baca tulis di sini."
Pak Kades menepuk bahuku. "Bagus Nak Rohim."
Besoknya, tidak lagi ibu-ibu yang mendatangi warungku, tetapi bapak-bapak juga. Mereka ingin ikut belajar membaca dan menulis sesuai pengarahan pak Kades. Walaupun tidak tiap hari, karena mereka harus berladang, tetapi mereka tetap ingin belajar.
Tanpa kusadari, berjalannya waktu, warungku semakin dipadati pengunjung. Dari yang ingin belajar baca tulis hingga berbelanja ke warung. kegiatan belajar pun makin meningkat, tidak hanya baca tulis, tetapi aku juga memberikan penyuluhan pertanian. Kupikir dengan melakukan hal tersebut maka secara tidak langsung aku mempromosikan barang-barang yang kujual.
Tetapi, tanpa kuduga, sore itu Pak Ujang, pegawai kantor desa datang berkunjung ke warungku. "Apa kabar, Him? Semakin sukses saja jualanmu."
"Alhamdulillah, Pak Ujang."
"Berarti cukup modalmu buat maju nyalon kades tahun depan?"
Aku terbatuk mendengar penuturan Pak Ujang.
"Wah, saya ga ngerti politik, Pak Ujang."
"Hampir separuh warga desa kita mengumpul di warungmu setiap hari. Pasti kamu punya peluang untuk dipilih, Him. Kita butuh generasi muda yang agresif, inovatif, dan kreatif, biar desa kita maju. Alhamdulillah, semenjak kamu pulang dari kota, mengajar bapak-bapak dan ibu-ibu di sini baca tulis, angka buta huruf di desa kita drastis menurun."
Aku langsung mengangkat tangan sambil tertawa. "Pak Ujang kayaknya obrolan kita ketinggian deh. Saya ga ngerti calon-mencalon begitu. Saya cuma begini ini, Pak."
"Tapikan kamu sarjana. Di desa kita ini, sedikit sekali sarjana. Apalagi sarjana macam kamu."
"Memang saya sarjana macam apa?"
"Idolanya ibu-ibu desa ini. Kata Mak Menah, setiap emak di kampung ini sedang menunggu Nak Rohim melamar anak gadis mereka."
Aku semakin keras tertawa.
"Kamu itu sudah memegang suara paling penting. Suara ibu-ibu. Sekali mereka berkata akan memilih kamu. Pasti mereka tidak akan berdusta. Bayangkan saja Nak Rohim. Jumlah Perempuan dan laki-laki di kampung kita ini seimbang. Sementara kamu sudah menggenggam erat suara perempuan."
Aku tak dapat menanggapi dengan kata-kata. Kudengar suara tawaku terus membahana.
"Ah, saya tidak mau maju jadi Kades, Pak Ujang. Saya mau maju jadi anggota dewan di kabupaten saja..." kelakarku di penghujung pembicaraan kami.
Tapi ternyata itu malapetaka. Pak Kades yang kini mendatangi warungku. "Wah, semakin sukses saja ya Nak Rohim. Apalagi dengar Bapak, Nak Rohim mau nyalon DPRD..."
Aku menepuk jidat.
"Ah, tidak benar itu Pak Kades. Saya cuma berkelakar dengan Pak Ujang. Saya ingin jadi petani yang profesional saja, Pak. Seperti Bob Sadino. Pengusaha di bidang pertanian dan peternakan."
"Bagus juga kalau bisa terjun ke politik."
Aku bersikap seperti biasa, tertawa.
"Tidak, Pak Kades. Biarlah saya fokus di bidang saya saja. Biar orang yang lebih kompeten di politik yang terjun ke dunia calon mencalon itu."
"Eh, salah kalau kamu pikir begitu. Yang mencalon jadi Kades, anggota dewan bahkan bupati itu harus orang yang memiliki visi dan misi. Bukan sekedar kompeten sebagai politisi."
"Maaf, Pak Kades. Saya sama sekali ga ngerti yang namanya politik. Saya tidak akan tertarik."
Pak Kades cukup lama di warungku. Hampir matahari tergelincir dia baru pamit.
Beberapa hari kemudian sebelum warga datang belajar, Pak Marto Pengurus ranting partai datang mengunjungiku. Lelaki berpenampilan nyentrik itu menepuk-nepuk bahuku dan menyalamiku dengan begitu erat.
"Nak Rohim. Kamu memang pantas dikaderkan. Kamu itu pemuda yang punya nilai untuk diperjuangkan. Kami siap memberikan kamu perahu kalau kamu bersedia."
Aku tersenyum.
"Bagaimana, kamu pasti tertarik?"
Aku menutupi kekikukanku dengan tertawa, "Sepertinya Pak Marto terlalu tinggi menilai saya. Saya ga ada apa-apanya, Pak. Bagaimana Bapak bisa begitu yakin menawarkan kepada saya. Lagi pula saya merasa tidak punya kemampuan di bidang politik."
Pak Marto gantian tertawa, "Itu gampang. Semua bisa dipelajari."
"Tapi, maaf Pak Marto, Saya belum kepikiran untuk ke sana."
"Kamu menolak?"
"Untuk saat ini, belum dulu Pak Marto."
"Lalu, buat apa kamu buka les gratis baca tulis?"
"Ya, karena Mak Menah dan kawan-kawan beliau yang meminta."
"Lalu?"
"Ya, itu. Karena permintaan mereka."
"Keuntungannya buat kamu?"
"Mereka membantu saya di warung."
"Waduh, Nak Rohim. Suara mereka itu sangat berharga. Kamu harus memanfaatkan peluang itu. Untuk kemajuan desa ini. Kalau ga pemuda macam kamu, siapa lagi yang akan memajukan desa kita?"
"Mungkin saya melalui jalur yang berbeda saja, Pak Marto. Insyaallah, melalui wirausaha, saya akan beusaha memajukan desa."
"Walah, kamu salah,..."
"Maaf kalau saya salah, tapi saya lebih baik mengeluti bidang yang saya pahami dulu sebelum saya memasuki bidang lain yang sama sekali tidak saya tahu. Saya sarjana pertanian, Pak Marto. Saya rasa ilmu saya lebih berguna apabila bersentuhan langsung dengan warga."
Pak Marto mengatup mulutnya sambil mengangguk-angguk.
"Baiklah, Nak Rohim. Kamu hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Kalau kamu tertarik, tentu kamu tahu dimana harus mendatangi saya?"
Aku mengangguk. Pak Marto pamitan ketika melihat rombongan Mak Menah dan ibu-ibu lain mulai mendatangi warungku. Pak Marto melangkah meninggalkan warung dengan jeep merahnya.
Mak Menah menepuk bahuku wajahnya tampak cemas, "Jadi nyalon, Him?"
Aku mengerutkan kening. "Nyukur rambut di salon?"
"Nggak, yang pasang baleho gede-gede itu. Pake dasi. terus ada tulisannya, Coblos..."
Aku menggeleng.
"Oh, syukurlah." Mak Menah mengelus dadanya.
"Boy sudah bisa membaca, Him. Cuma masih belum fasih menulis." cerita Mak Menah lagi.
"Oh, bagus kalau begitu."
"Siti juga sudah bisa membaca dan menulis, Him. Emak sendiri yang mengajarnya." celetuk Mak Timah bangga. Mak Menah hanya mencibir.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka.
"Ya, sudah... Dibuka lagi bukunya. Halaman berapa lagi pelajaran kita hari ini?"
"Wah, bukunya ga pakai halaman, Him..." celetuk Ibu yang lain.
"Wah, ada kok." sahut ibu di belakangnya.
"Buku apa toh?" tanya Mak Sargawi.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka.
Selamat Datang ...
Cerita Gopek menyuguhkan fiksi mini (flash fiction) karya Mardiana Kappara yang mengandung tidak lebih dari 500 kata pada tiap cerita.
Rabu, 04 Oktober 2017
Sabtu, 30 September 2017
Dhamasraya
Pada zaman dahulu, anak gadis
daerah Jambi dilarang turun dari rumah. Karenanya hampir tidak ada anak gadis
di daerah Jambi tidak bisa menenun. Dhamasraya juga pandai menenun sebilah
bahkan berbilah-bilah songket. Sangking rajinnya, tidak pernah gedogan[1]
Dhamasraya terlihat berhenti bekerja barang sehari pun. Cantik-cantik desain
songket yang mampu dihasilkan Dhamasraya hingga kemudian kemahsyuran desain
kain songketnya terdengar hingga ke telinga Putri Pinang. Kemudian sang Putri
menemui Dhamasraya dan memintanya untuk menenunkan sebilah kain songket yang
rencananya akan dipakai menemui Pangeran digdaya dari negeri seberang, Putri
Pinang berharap dengan mengenakan songket indah buatan Dhamasraya, Pangeran
idaman hatinya tersebut akan jatuh hati padanya.
Dhamasraya bersedia membuatkan
dengan syarat Putri Pinang harus memakai songket itu di kepalanya dan tidak
berkata satu pun kebohongan ketika mengenakan kain buatannya tersebut, maka
niscaya akan semakin terpancarlah aura kecantikan sang Putri dan tunduklah hati
Pangeran padanya. Putri pun menyanggupi syarat tersebut.
Pada hari yang telah dijanjikan,
Dhamasraya pun menyerahkan songket buatannya yang menyisipkan benang emas,
perak, tembaga, dan benang warna di atas benang lungsin[2]. Dhamasraya
membuat Motif Angso Duo yang melambangkan Jambi
sebagai Tanah Pilih Pesako Betuah[3].
Dhamasraya sendiri yang membentuk tengkuluk[4]
di atas kepala Putri Pinang dengan songket buatannya. Seketika, kecantikan
Putri Pinang menjadi bertambah berkali-kali lipat.
Tetapi, janji tak dapat dipegang. Putri Pinang terlupa
berkata jujur ketika Pangeran pujaan hatinya memuji keindahan motif songket tengkuluknya.
Putri Pinang bermaksud membuat sang Pangeran jatuh kagum padanya dengan sedikit
kebohongan, “Terima kasih, Baginda. Sehari semalam aku kerjakan membuat songket
ini demi menemui Baginda.” Dan seketika itu juga Putri Pinang berubah wujud
menjadi sebutir pinang.
Topik: Kain Tradisional
Labels:
cerita mini,
dongeng,
fiksi mini,
flash fiction
Kamis, 08 Juni 2017
Wak Kocai Kaya Raya
Tidak ada orang
yang percaya kalau Wak Kocai sekarang banyak harta. Semua orang di kampung
curiga dan bergunjing termasuk Wak Karim dan Bido Pidut kalau Wak Kocai pasti mencuri.
“Mana ada orang
miskin bisa kaya!” Seru Wak Karim.
“Iya, rumahnya kan
dulu gubuk reot. Kurang lebih seperti kita!” Seru Bido Pidut juga.
Mendengar
kasak-kusuk tetangga, Wak Kocai mengelus dada. Tapi ia tidak marah malah
mendatangi Makwo Sema, si tukang gosip
di Kampungnya.
“Apa kabar,
Makwo Sema?”
“Kabar baik,
Wak Kocai! Dengar kabar awak sudah kaya raya sekarang!”
“Iya, Mak. Aku
tidak menyangka kaya itu mudah nian, Mak!”
“Mudah
bagaimana?”
“Tiga hari tiga
malam aku berdoa memohon kepada Tuhan biar jadi orang kaya. Lalu satu karung
emas sudah ada di depan pintu rumahku, Mak. Makanya aku kaya raya!”
Makwo Sema
percaya. Dia pun bercerita pada Wak Karim dan Bido Pidut.
Tiga hari tiga
malam Wak Karim mengkunci pintu rumahnya rapat-rapat. Begitu pula Bido Pidut. Mereka
berdoa tanpa putus. Seperti yang diperkirakan dalam cerita Wak Kocai,
Bukkk! Bukkk!
Doa khusyuk mereka terhenti seketika. Semacam benda besar menghantam pintu rumah.
Bergegas mereka masing-masing menuju pintu keluar.
Sebuah karung
tiba-tiba telah bersandar di muka pintu rumah.
“Waduh! Kaya kita,
Bido Pidut!” Teriak Wak Karim senang.
“Cepat dibuka,
Wak!” Teriak Bido Pidut lagi dari seberang rumah.
Dengan tidak
sabar Wak Karim membuka karung tetapi isinya penuh dengan buah pinang utuh.
Bukan emas. Dan secarik kertas.
Alhamdulillah,
Saya sudah kaya raya
sekarang
Membaca tulisan
itu, Wak Karim jadi terpaku. Melihat tetangganya, Bido Pidut pun ikut membuka
karungnya dan menemukan tulisan yang sama. Keduanya kini sama-sama bergeming dengan kening berkerut.
Tiba-tiba Wak
Kocai melintas dengan sepeda,
“Apa kabar Wak
Karim, Bido Pidut,....Wah, tampaknya sudah terkabul doanya. Tidak susah bukan jadi orang kaya?”
Wak Karim
dan Bido Pidut langsung kikuk. Wajah keduanya bersemu merah. tanpa banyak bicara mereka serentak masuk ke rumah masing-masing dan menutup pintu rapat-rapat.
Semenjak hari itu, mereka tidak lagi berani
menghina Wak Kocai. Selain berdoa mereka pun mulai bersungguh-sungguh mengurus kebun
pinangnya yang sudah lama terbengkalai.
(Selesai)
Rabu, 07 Juni 2017
Dibuka Lowongan: Penjaga Suara
Pak Syargawi datang ke rumah. Dia bilang aku harus jadi petugas di TPS lagi. Ada pesanan dari Bapak dewan katanya.
"Aku sudah tidak mau lagi, Pak." Jawabku.
"Kenapa tidak mau? Kita tidak punya orang lagi buat jaga suara di situ."
"Suruh saja Aminah."
"Kenapa Aminah?"
Aku diam.
"Kau kok macam anak a-be-ge saja Martini. Masalah cinta ditolak, kau lalu jadi tidak profesional."
Aku mengerutkan kening, "Apa aku ada ngomong cinta barusan?"
"Gara-gara Bujang Pi'i memilih Aminah kan dibanding kau, makanya kau sudah tidak loyal lagi sama bendera kita."
Aku menggeleng cepat-cepat. "Bukan."
"Lalu karena apa?"
"Aku sudah tahu dosa sekarang."
Giliran Pak Syargawi yang mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Cuma jadi tukang jaga suara orang terus. Giliran orang sudah duduk di dewan. Jangankan mengucap terima kasih, melirik saja najis."
"Bujang Pi'i lagi maksudmu?"
"Ya...Siapa aja lah. Orang yang merasa pernah ditolongi."
"Kamu memang jago Martini. Makanya bendera kita selalu pengennya kamu yang di TPS."
"Aku udah ogah, Pak. Dosa!"
"Janganlah Martini. Demi bendera kita."
"Memang bapak mau gantiin saya di neraka?"
Pak Syargawi mesem-mesem diancam begitu.
"Saya sudah rajin ikut pengajian Pak Haji Muslim, Pak. Katanya, main-main dengan suara titipan orang dosa. Ga berkah hidup di dunia akhirat, Pak."
"Aku janji carikan kamu jodoh kalo kamu masih mau jaga TPS."
"Yeee,...amit-amit, Pak. Meski saya perawan tua, tapi saya ga banting harga. Apalagi mau buat dosa lagi demi dapat jodoh. Kalau kemaren saya mau karena saya tidak tahu. Kalau sekarang, saya udah insaf."
Pak Syargawi mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. cukup tebal. sebuah amplop coklat.
"Ambillah, mana tahu bisa buat pertimbangan." Pak Syargawi setelah itu langsung ngeloyor pergi.
***
Tiga hari kemudian Pak Syargawi datang lagi. Mukanya nampak kesal.
"Kenapa dikembalikan?" Pak Syargawi menyodorkan amplop tebal coklat yang tiga hari lalu aku kembalikan kepada Aminah.
"Sudah saya coba pake uang itu buat nyogok Rokib sama Atid, ga mau mereka, Pak. Terus aku coba juga ke malaikat pencabut nyawa, dia malah ngomong, Ga usah duit, ga level..."
Pak Syargawi tertawa, "Mungkin malaikat maut butuh modal gede, Tin. Makanya ga cukup segepok. Satu truk!"
"Ga Pak!" Kataku dengan ekspresi yakin. "Dia bilang, duit ga ada apa-apanya kalo buat nyogok beliau."
"Siapa sih malaikat mautmu, Tin. Sombong amat!"
"Ga sombong-sombong amatlah, Pak. Dia cuma punya permintaan satu aja."
"Asal masuk akal aja, Tin dan yang penting kamu mau lagi jaga TPS."
"Iya, Pak. asal penuhi dulu permintaannya."
"Apa?"
"Minta dikirimi Syargawi, katanya."
Wajah Pak Syargawi langsung berubah.
"Ah, kamu ini,... Maksudnya ngomong begitu apa?"
"Malaikat maut itu bilang, yang namanya Syargawi paling juga tidak bisa lagi melewati malam ketiga. Makanya aku kudu ngingetin. Kalau ga percaya, Pak Syargawi disuruh nemuin sendiri Malaikat mautnya.."
Pak Syargawi mencibirkan mulutnya, "Ya sudah. Kalau kamu memang tidak mau lagi tugas di TPS."
Aku tersenyum jumawa. Pak Syargawi menoleh setengah manyun ke arahku sebelum pergi dengan membawa amplop coklat yang diberinya beberapa hari lalu.
(Selesai)
"Aku sudah tidak mau lagi, Pak." Jawabku.
"Kenapa tidak mau? Kita tidak punya orang lagi buat jaga suara di situ."
"Suruh saja Aminah."
"Kenapa Aminah?"
Aku diam.
"Kau kok macam anak a-be-ge saja Martini. Masalah cinta ditolak, kau lalu jadi tidak profesional."
Aku mengerutkan kening, "Apa aku ada ngomong cinta barusan?"
"Gara-gara Bujang Pi'i memilih Aminah kan dibanding kau, makanya kau sudah tidak loyal lagi sama bendera kita."
Aku menggeleng cepat-cepat. "Bukan."
"Lalu karena apa?"
"Aku sudah tahu dosa sekarang."
Giliran Pak Syargawi yang mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Cuma jadi tukang jaga suara orang terus. Giliran orang sudah duduk di dewan. Jangankan mengucap terima kasih, melirik saja najis."
"Bujang Pi'i lagi maksudmu?"
"Ya...Siapa aja lah. Orang yang merasa pernah ditolongi."
"Kamu memang jago Martini. Makanya bendera kita selalu pengennya kamu yang di TPS."
"Aku udah ogah, Pak. Dosa!"
"Janganlah Martini. Demi bendera kita."
"Memang bapak mau gantiin saya di neraka?"
Pak Syargawi mesem-mesem diancam begitu.
"Saya sudah rajin ikut pengajian Pak Haji Muslim, Pak. Katanya, main-main dengan suara titipan orang dosa. Ga berkah hidup di dunia akhirat, Pak."
"Aku janji carikan kamu jodoh kalo kamu masih mau jaga TPS."
"Yeee,...amit-amit, Pak. Meski saya perawan tua, tapi saya ga banting harga. Apalagi mau buat dosa lagi demi dapat jodoh. Kalau kemaren saya mau karena saya tidak tahu. Kalau sekarang, saya udah insaf."
Pak Syargawi mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. cukup tebal. sebuah amplop coklat.
"Ambillah, mana tahu bisa buat pertimbangan." Pak Syargawi setelah itu langsung ngeloyor pergi.
***
Tiga hari kemudian Pak Syargawi datang lagi. Mukanya nampak kesal.
"Kenapa dikembalikan?" Pak Syargawi menyodorkan amplop tebal coklat yang tiga hari lalu aku kembalikan kepada Aminah.
"Sudah saya coba pake uang itu buat nyogok Rokib sama Atid, ga mau mereka, Pak. Terus aku coba juga ke malaikat pencabut nyawa, dia malah ngomong, Ga usah duit, ga level..."
Pak Syargawi tertawa, "Mungkin malaikat maut butuh modal gede, Tin. Makanya ga cukup segepok. Satu truk!"
"Ga Pak!" Kataku dengan ekspresi yakin. "Dia bilang, duit ga ada apa-apanya kalo buat nyogok beliau."
"Siapa sih malaikat mautmu, Tin. Sombong amat!"
"Ga sombong-sombong amatlah, Pak. Dia cuma punya permintaan satu aja."
"Asal masuk akal aja, Tin dan yang penting kamu mau lagi jaga TPS."
"Iya, Pak. asal penuhi dulu permintaannya."
"Apa?"
"Minta dikirimi Syargawi, katanya."
Wajah Pak Syargawi langsung berubah.
"Ah, kamu ini,... Maksudnya ngomong begitu apa?"
"Malaikat maut itu bilang, yang namanya Syargawi paling juga tidak bisa lagi melewati malam ketiga. Makanya aku kudu ngingetin. Kalau ga percaya, Pak Syargawi disuruh nemuin sendiri Malaikat mautnya.."
Pak Syargawi mencibirkan mulutnya, "Ya sudah. Kalau kamu memang tidak mau lagi tugas di TPS."
Aku tersenyum jumawa. Pak Syargawi menoleh setengah manyun ke arahku sebelum pergi dengan membawa amplop coklat yang diberinya beberapa hari lalu.
(Selesai)
Minggu, 15 Januari 2017
Kerasukan
Aku mau merepeti lagi suamiku yang baru pulang larut malam. Tetapi mulutku langsung dibungkamnya. Hidungnya langsung mengendus
"Bisa jadi kau tidak cocok dengan rumah ini," sahut suamiku pelan.
Aku mengerutkan kening.
"Hawa mulutmu lain. Lakumu juga. Pasti kau kerasukan."
Aku semakin mengerutkan kening.
"Kau merasa lain tidak?"
Aku menggeleng, "Biasa saja."
"Dulu kau tidak suka merepet. Semenjak kita pindah rumah, tiap menit mulutmu tidak bisa bicara baik."
Aku melongo, "betul kah?"
"Tuh kan. Benar. Kau kerasukan."
"Jangan menakut-nakuti."
"Tidak, aku tidak menakut-nakuti."
Aku berpikir.
"Sudah. Tidak usah bengong. Kalau kau sering bengong pikiranmu jadi kosong. Kau bakal benar-benar dirasuki."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kalau kau tidak percaya. Lihat saja perempuan di pantulan cermin di depanmu."
Aku langsung menatap cermin yang pas tergantung di hadapanku.
"Aku tidak melihat siapa-siapa."
"Sungguhkah?"
"Iya. Sungguh."
"Coba kau lihat baik-baik."
Aku memandangi cermin tanpa kedip, "Kau hanya bermaksud menakutiku kan?"
"Coba kau mendekat ke cermin itu, dan sebutkan HAAA.. di permukaannya."
Aku mengikuti.
"Kau cium aroma mulutnya kan?"
Aku mengerutkan kening menatap suamiku.
"Bau jengkol?"
Aku mengangguk.
"Lah, itulah hantunya!"
"Maksudmu?"
Suamiku tertawa.
Aku meraba mulutku yang baru bersendawa semur jengkol.
Aku tidak jadi merepet malam ini.
(Selesai)
"Bisa jadi kau tidak cocok dengan rumah ini," sahut suamiku pelan.
Aku mengerutkan kening.
"Hawa mulutmu lain. Lakumu juga. Pasti kau kerasukan."
Aku semakin mengerutkan kening.
"Kau merasa lain tidak?"
Aku menggeleng, "Biasa saja."
"Dulu kau tidak suka merepet. Semenjak kita pindah rumah, tiap menit mulutmu tidak bisa bicara baik."
Aku melongo, "betul kah?"
"Tuh kan. Benar. Kau kerasukan."
"Jangan menakut-nakuti."
"Tidak, aku tidak menakut-nakuti."
Aku berpikir.
"Sudah. Tidak usah bengong. Kalau kau sering bengong pikiranmu jadi kosong. Kau bakal benar-benar dirasuki."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kalau kau tidak percaya. Lihat saja perempuan di pantulan cermin di depanmu."
Aku langsung menatap cermin yang pas tergantung di hadapanku.
"Aku tidak melihat siapa-siapa."
"Sungguhkah?"
"Iya. Sungguh."
"Coba kau lihat baik-baik."
Aku memandangi cermin tanpa kedip, "Kau hanya bermaksud menakutiku kan?"
"Coba kau mendekat ke cermin itu, dan sebutkan HAAA.. di permukaannya."
Aku mengikuti.
"Kau cium aroma mulutnya kan?"
Aku mengerutkan kening menatap suamiku.
"Bau jengkol?"
Aku mengangguk.
"Lah, itulah hantunya!"
"Maksudmu?"
Suamiku tertawa.
Aku meraba mulutku yang baru bersendawa semur jengkol.
Aku tidak jadi merepet malam ini.
(Selesai)
Labels:
cerita mini,
cerpen,
fiksi mini,
flash fiction
Senin, 14 Maret 2016
SILAHKAN KUNJUNGI BLOG SAYA mardiana-kappara.blogspot.com
Jumat, 25 Januari 2013
Matamu
"Mana matamu?"
"Mataku?"
"Iya. Matamu."
"Bukannya di kepala."
"Tidak ada."
"Ah, masa."
"Lihatlah cermin kalau kau tidak percaya."
"Aah,... baru aku ingat. Tadi malam aku lepas. Karena mata ini isteriku tidak lagi percaya padaku. Katanya aku selingkuh mata dengan janda sebelah rumah. Tapi aneh, pas mataku itu tidak di kepala, isteriku malah menangis. katanya, mana matamu?... Lalu kujawab saja, sudah tidak lagi denganku, biar aku tidak lagi kau tuduh selingkuh mata. Tanpa mata aku kan tidak bisa selingkuh. Tambah keras dia menangis. Aneh bukan?"
(Selesai)
"Mataku?"
"Iya. Matamu."
"Bukannya di kepala."
"Tidak ada."
"Ah, masa."
"Lihatlah cermin kalau kau tidak percaya."
"Aah,... baru aku ingat. Tadi malam aku lepas. Karena mata ini isteriku tidak lagi percaya padaku. Katanya aku selingkuh mata dengan janda sebelah rumah. Tapi aneh, pas mataku itu tidak di kepala, isteriku malah menangis. katanya, mana matamu?... Lalu kujawab saja, sudah tidak lagi denganku, biar aku tidak lagi kau tuduh selingkuh mata. Tanpa mata aku kan tidak bisa selingkuh. Tambah keras dia menangis. Aneh bukan?"
(Selesai)
Langganan:
Postingan (Atom)